Klambi Lurik Asli Jawa




Ngagem Lurik Karya Ki Nartosabdo

Lurik-lurik lurike weton Pedan
tur lumayan sing ngagem sajak kepranan
lurik-lurik lurike weton Trasa
nadyan prasaja sing ngagem katon gembira
Pedan Trasa lurike pancen kaloka
tuwa mudha ngagem lurik
katon endah tur ya murah
kuwi mas ndheke dhewe
mulane ja nglalekke
nengsemake nganggo weton nggone dhewe


Terjemahan bebas:


Lurik-lurik luriknya dari Pedan
lumayan yang pakai tampak senang
lurik lurik luriknya dari Trosa
meski sederhana yang pakai tambah suka
Pedan Trosa luriknya memang terkenal
tua muda memakai lurik
tampak indah dan murah
itulah milik sendiri
makanya jangan lupa
memikat memakai produksi sendiri


Syair lagu tersebut mengingatkan saya pada sebuah hasil produk dalam negeri yang mungkin saat ini sedang di anak tirikan. Realitasnya, teriakan hari batik nasional telah menenggelamkan akan keberadaan kain lurik (budaya nasional mengenalnya dengan kain tenun ataupun songket). Ironis memang, batik yang notabene aslinya dari mana juga masih dipertanyakan, sementara kain lurik yang notabene secara historis merupakan salah satu asset Negara justru ditenggalamkan.


Lagu karya Ki Nartosabdo ini menurut saya pribadi adalah sebuah karya yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal. Betapa tidak, Nartosabdo lahir di Klaten, sementara Pedan itu juga salah satu kota yang terletak di Kabupaten Klaten. Meskipun lurik itu merupakan budaya orang Jawa (khususnya Jawa Tengah), namun kota Klaten (Pedan) merupakan kota yang sampai sekarang masih sibuk dan aktif mengerjakan pekerjaan rumah ini (selain itu juga beberapa tempat di Jogja).



Sejarah


Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).


Proses


Lurik menurut saya pribadi adalah sebuah simbol kesederhaan, kekayaan intelektualitas yang sifatnya masih natural. Berbeda sekali dengan keberadaan pabrik kain batik. Perkembangan kain batik setelah mengenal pangsa pasar, akhirnya kenal berbagai bentuk batik cap yang menimbulkan dampak ga bersahabat dengan alam (alias limbahnya dibuang di sembarangan). Dahulu memang kita mengenal batik tulis, dan sekarang batik model tulis ini juga masih berkembang, toh penggunaan pewarnaan dalam batik tulis itu sendiri menggunakan zat-zat kimia seperti :  - Naphtol 2 g + soda api 1 g + TRO 1 g + 1 liter air panas dan  - Garam 6 g + 1 liter air dingin. Sementara untuk membuat kain lurik para pengrajin hanya membeli benang dari toko yang notabene di import dari Negara tetangga yang sudah punya warna tertentu, sehingga tidak melakukan proses pewarnaan. Justru ada para pengrajin kain tenun yang masih menggunakan system perwarnaan alami, ada juga yang membuat benang-benang dari sutra dan dari pelepah kayu dan masih banyak lagi yang sifatnya alami sekali.


Produk Lurik


Saya pikir kain tenun juga sudah bias menjawab kebutuhan pakaian manusia, dari bayi hingga orang dewasa. Toh kalau yang meninggal dunia justru butuhnya hanya kain mori putih, atau kain kafan. Semua tergantung pada para peminatnya. Kalau mau butuh tas yang terbuat dari lurik, ya tinggal pesen saja, mau buat kaos kaki dari kain lurik juga bisa langsung pesan. Andai saja pekerja atau pengrajin lurik kurang berminat dalam hal pemesanan ini, kan jadi lowongan pekerjaan juga bagi siapa yang mau, dan itu juga tergantung seberapa besar pememinatnya. Bagi saya peminat itu kan masyarakat, tinggal gerakkan saja mass media, atau dibuatkan isu bagaimana, festival atau apalah macamnya, yang jelas semua jalan yang pernah mengantar sebuah produk dipakai akhirnya bisa juga untuk menguasai massa. Analoginya adalah roti saja, ketika saya kecil mengenal roti khongguan itu sudah luar biasa jenisnya, eh sampai sekarang saya dewasa ternyata roti itu banyak sekali jumlahnya dan banyak bentuk-bentuk baru dari roti. Meskipun demikian toh namanya masih ROTI, yang artinya ada persamaan unsur-unsur komposisinya.


Kesimpulan


Silahkan mau menggunakan produk apa saja, toh jaman sekarang itu perusahaan kain dalam negri sangat banyak sekali dan ada yang sampai menyetoki pihak luar negeri (jadi asset juga kan). Namun yang perlu dipertimbangkan adalah dampak negatifnya, bukan hanya sekedar mendapat aset, tetapi lebih memprioritaskan kemaslahatan banyak umat. Toh simbah-simbah kita jaman dulu selalu berorientasi demi kepentingan keharmonisan alam, bukan kepentingan untuk “mbledhose weteng dhewek”. Semua tergantung pada penyikapan masing-masing individu, semut yang kecilpun mampu merobohkan belalang-belalang besar jika mereka bersatu.

Semua gambar ilustrasi saya ambil dari Mbah GOOGLE dengan kata kunci KLAMBI LURIK
Artikel ini juga di posting pada https://poswayang.wordpress.com dengan judul Klambi Lurik Asli Jawa.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk Gabung

Total Pengunjung

Penunjung